BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sudah menjadi anggapan
umum di kalangan masyarakat bahwa ilmu hadits dan seluk beluknya tergolong
sebagai ilmu pengetahuan yang sangat pelik, apalagi bagi mereka yang belum memahami dengan baik sejarah penghimpunan hadits
nabi, berbagai istilah, kaidah yang
di kenal dalam ilmu hadits dan metode penelitian kualitas hadits. Yang di
khawatirkan dari keadaan ini adalah munculnya keengganan dalam diri mereka
untuk memahami hadits, lalu mengesampingkannya, baik secara terang terangan
maupun tersembunyi, seperti yang dilakukan kelompok inkar as-sunnah.
Kenyataanya, kitab-kitab
yang memuat hadits Nabi cukup banyak dan beragam dilihat dari sisi
penghimpunanya, cara dan sistem penghimpunanya ataupun masalah yang dikemukakan
dan bobot kualitasnya. Bahkan,
kitab-kitab tersebut sudah memuat periwayatan hadits secara lengkap, baik matan
maupun sanadnya. Hingga tiap pembaca benar-benar telah mendapatkan informasi
lengkap tentang redaksi matan dan mata rantai sanad sebuah hadits, dua hal yang
sama-sama mempunyai kedudukan penting untuk menilai kulitas hadits seperti yang
terihimpun dalam kitab kutub as-sittah (shahihaini, yaitu shahih bukhari
dan shahih muslim, sunan atturmudzi, annasa’I, abu dawud dan sunan ibnu
majjah),dan lainnya (seperti: almuwatto’, musnad ahmad ibnu hanbal, mustadrok
hakim dan kitab ajza atau athrof).
Dari sini dapat
dikatakan bahwa untuk dapat memahami dan mengkaji hadits nabi dengan benar,
seseorang tidak hanya di tuntut mendalaminya dari sisi matan saja, tapi juga
mampu memahami dengan baik keadaan mata rantai sanad dan para perawi hadits
yang akan di kaji. Sebab keadaan matan, sanad dan perawi hadits yang terhimpun
dalam berbagai kitab-kitab koleksi hadits nabi Saw. itu bermacam-macam.
Oleh karna itu, untuk
mengkaji sebuah hadits seseorang harus memahami betul ilmu yang berhubungan
erat dengannya, baik istilah-istilah, kaidah-kaidah, maupun metode
penelitiannya. Oleh sebab itulah, penulis menyajikan makalah sederhana ini yang
akan membahas secara global tentang hadits, sunnah, khabar, atsar dan pada
ahirnya akan di teruskan oleh kelompok-kelompok yang sudah di amanati tugas.
2. Rumusan Masalah
Dari latar balakang diatas dapat dirumuskan masalah, sebagai berikut :
1.
Apa
Definisi menurut bahasa dan istilah dari hadits, sunnah, khobar, dan atsar ?
2.
Apa
subtansi dari hadits dan atsar ?
3.
Bagaimana
stuktur hadits ?
4.
Apa
pengertian sanad, matan, mukhraj,dan periwayat ?
3. Tujuan Masalah
Tujuan kami membuat makalah ini
tidak lain untuk :
1.
Memberi
pengertian baik secara bahasa maupun istilah tentang hadits, sunnah, khobar,
dan atsar.
2.
Mencari
subtansi dari hadits dan atsar.
3.
Memberi
sruktur tentang bagaimana stuktur hadits.
4.
Memberi
pengertian tentang sanad matan, mukhraj, periwayat
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
menurut bahasa dan istilah hadits, sunnah, khobar, dan atsar.
A.
Pengertian
hadits
Kata hadist berasal dari kata hadits,
jamaknya ahadits, dan hutsan. Namun yang terpopuler adalah
ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama’ hadits[1].
Dari segi bahasa, kata ini mempunyai banyak arti, diantaranya al-jadid
(sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu
yang lama), juga bisa diartikan sebagai al-khabar (berita atau
informasi)[2]
dan alqarib (sesuatu yang dekat)[3].
Adapun
pengertian hadits menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama’. Misalnya, ulama’ hadits mengatakan: Hadits ialah segalah ucapan, perbuatan,
taqrir (pengakuan), dan segalah keadaan yang ada pada Nabi Muhammad SAW.
Termasuk segala keadaan yang ada pada NAbi Muhammad SAW.Adalah sejarah hidup
beliau (semisal kelahiran, keadaan sebelum dan setelah diangkat menjadi Rasul).[4]
Sementara para Ulama’ Ushul memberikan pengertian hadits adalah
اقواله وافعاله وتقريراته التى تثبت الاحكام وتقررهاَ
“Segalah
perkataan Nabi Saw, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’
dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadits menurut ahli
ushul ini jelas bahwa hadits adalah segalah sesuatu yang bersumber dari Nabi
Saw baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tdak bisa dikatakan hadits.
Ini berarti bahwa ahli Ushul membedakan diri Nabi Muhammad Saw sebagai rasul
dan sebagai manusia biasa.Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan
misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw sebagai
Rasulullah.Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau
serta ketetapan- ketetapannya.
Sedangkan
kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan
kebiasa an manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai
hadist. Dengan demikian, pengertian hadist menurut ahli Ushul lebih sempit
dibanding dengan pengertian hadist menurut ahli hadist.[5] Juga pendapat lain ialah.
ما أضيف ألى النبي صلى الله عليه
وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة
“Sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”[6]
Sebagian
muhaddisinberpendapat bahwa pengertian hadits diatas merupakan pengertian
yang sempit. Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih
luas; tidak terbatas pada apa yang disandarkan pada Nabi SAW (hadits marfu’)
saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat(hadits
mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’). Hal ini dipaparkan oleh
H.Munzier yang mengutip dari al-Tirmisi
ان الحديث لايختص بالمرفوع اليه صلى
الله عليه وسلم بل جاء بالموقوف وهو ما أضيف الى الصحابي والمقطوع وهو ما أضيف
للتابعي
“Bahwasanya hadits itu bukan hanya
untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw,
melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf; yang disandarkan kepada sahabat
dan yang maqtu’; yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.[7]
B.
Pengertian
Sunnah
Menurut bahasa, kata sunnah mempunyai
beberapa arti, diantaranya jalan yang dilalui, tata cara atau perilaku, baik
jalan tersebut terpuji maupun tercela.[8]
Terkadang sunnah juga diartikan sebagai kebiasaan (adat) atau tradisi.[9]
Sedangkan
menurut istilah, sunnah juga mempunyai beberapa arti dikalangan muhaddisin,
ulama’ ushuliyyin, dan ulama’ fiqih. Hal ini disebabkan karna perbidaan latar
belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah
Saw.
Pengertian sunnah menurut ahli
hadits adalah
ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم
من قول او فعل او تقرير او صفة خلقية او خلقية سيرة, سواء كان قبل البعثة او بعدها
“Segala yang
bersumber dari Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai,
budi pakerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun
sesudahnya”.[10]
Berbeda
dengan ahli hadits, ahli ushul mengatakan, sunnah adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Saw yang berhubungan dengan hukum syara’ baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. Berdasarkan pemahaman seperti ini,
mereka mendefinisikan sunnah sebagai berikut
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه
وسلم غير القرأن الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي
“Segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Saw selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara’”[11] .
S e d a n g k a n s u n
n a h m e n u r u t a h l i
fiqih sebagai
berikut
ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم
من غير افتراض ولا وجوب, وتقابل الواجب وغيره من الاحكام الخمسة
“Segala
ketetepan yang berasal dari Nabi Saw selain yang difardhukan dan diwajibkan dan
termasuk hukun(taklifi) yang lima[12].
C.
Pengertian
Khabar
Khabar menurut bahasa serupa dengan makna
hadist, yakni segala perintah yang disampaikan oleh seseorang kepada orang
lain.[13]
Dan m e n
u r u t i s t i l a h khabar
mempunyai beberapa m a k n a
مرادف للحديث
“Murodif dari lafad
hadist
مغايرله: فالحديث ما جاء عن النبي
صلى الله عليه وسلم والخبر ما جاء عن غيره
Hadits:
Sesuatu yang datang dari Nabi Saw Sedangkan khobar sesuatu yang datang dari
selain Nabi Saw.[14]
D.
Pengertian
Atsar
Adapun
atsar menurut pendekatan bahasa sama
pula artinya dengan khabar, hadits, dan
sunnah.[15]
Dan ada juga yang mengartikan
[16]بقية الشيئ
Sisanya
sesuatu”
Sedangkan
atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat para ulama’
ما روي عن
الصحابة ويجوز أطلاقه على كلام النبي أيضا[17]
“Yaitu segala
sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada
perkataan Nabi Saw.
Dan juga ada yang mengartikan
[18] ما أضيف الى الصحابة
والتابعين من أقوال وأفعال
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan
tabi’in dari ucapan dan perbuatan”
2.
Subtansi
Hadits dan Atsar
Dari penjelasan di atas dapat
diambil pengertian bahwa hadits, sunnah, Khabar, dan atsar, memiliki maksud
yang sama, yaitu segala sesuatu yang bersumber
d a r i Nabi Saw. Baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Dari kesamaan ini, ditemukanlah beberapa keserupaan diantara
pengertian-pengertian tersebut. Di antaranya
d a l a m bentuk subtansinya, yaitu perkataan (hadits
qauli), perbuatan (hadits fi’li), ketetapan (hadits taqriri) d a n karakter kepribadian (hadits hammi dan ahwali)[19].
3.
Struktur
Hadits
Struktur hadits dapat diketahui
dari hadits berikut ini:
حدثنا محمد بن
المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا ايوب عن ابى قلابة عن انس عن انبي
صلى الله عليه وسلم قال:" ثلاثة من كن فيه وجد حلاوة الايمان ان يكون الله
ورسوله أحب اليه مما سواهما وان يحب المرئ لايحبه الا للله وان يكره ان يعوده فى
الكفر كما يكره ان ينقد فى النار" روه البخارى
“Telah
bercerita kepadakuMuhammad bin al-Mutsanna, ia berkata; “Bercerita kepadaku
Abdul Wahab al-Tsaqafi”, Ia berkata; “telah bercerita kepadaku Ayyub dari Abi
Qilabah dari anas dari Nabi, beliau bersabda: “Ada tiga perkara, barang siapa
mendapatkannya maka akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: lebih mencintai
Allah dan rasul-Nya daripada selain keduanya, senang kepada seseorang untuk
mencari keridlaan Allah, takut kembali kekafiran sebagaimana takutnya masuk
neraka” (H.R. Bukhary)
Dari contoh
Hadits di atas dapat dilihat bahwa struktur Hadits itu terdiri dari tiga
bagian, yaiu:
1)
Sanad (rangkaian perawi yang
meriwayatkan Hadits), yang dalam contoh Hadits diatas adalah: حدثنا محمد بن
المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا ايوب عن ابى قلابة عن انس عن
انبي صلى الله عليه وسلم قال
2)
Matan (isi Hadits), yang dalam
contoh Hadits di atas adalah ثلاثة من كن
فيه وجد حلاوة الايمان ان يكون الله ورسوله أحب اليه مما سواهما وان يحب المرئ
لايحبه الا للله وان يكره ان يعوده فى الكفر كما يكره ان ينقد فى النار
3)
Mukharrij (orang yang meriwayatkan
hadits), yang dalam contoh hadits di atas adalah: روه البخارى[20]
4.
Pengertian
Sanad, Matan, Mukharrij dan Periwayat
A.
Sanad
Sanad berasal dari kata dasar (sanada, yasnudu
)سند يسند) (a) artinya:
“sandaran”,”tempat bersandar”, “tempat berpegangan”, atau berarti “ yang di
percaya” atau “yang sah”, sebab sebuah hadits selalu bersandar padanya dan di
pegangi atas kebenarannya.[21]Sedang
menurut istilah ialah
السند هو سلسة الرجال الموصولة للمتن
“sanad ialah
silsilah mata rantai orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits.”[22]
السند هو سلسلة الرواة الذين نقلو المتن عن
صدره الأول
“Sanad ialah mata rantai para
perawi yang memindahkan hadits dari sumbernya yang pertama.”[23]
Yang di maksud dengan i s t i l a h “silsilah orang” ialah susunan
atau rangkaian mata rantai orang-orang y
a n g menyampaikan materi hadits
tersebut, mulai dari yang di sebut pertama sampai kepada Rasulullah Saw., di m a n a
semua perbuatan, ucapan,
pengakuan dan lainnya merupakan matan hadits.[24]
Oleh sebab
itu, y a n g di namakan sanad hanyalah
yang berlaku pada sederetan mata rantai
orang-orang, bukan d a r
i sudut pribadi secara perorangan. Sebab sebutan untuk perorangan yang menyampaikn hadits adalah perawi atau
rawi.[25]
B.
Matan
Menurut bahasa adalah (ما صلب
وارتفع من الارض) (dataran tinggi yang keras), sedangkan
menurut termonologi ahli hadits adalah (ما ينتهي اليه السند) penghujung dari pembicaraan sanad[26]
Dari definisi
di atas matan ialah materi atau lafadz hadits itu sendiri, yang oleh penulisnya
di tempatkan setelah menyebutkan sanad sebelum perawi atau mudawwin.[27]
Dengan
demikian, matan hadits ialah materi berita yang di terima dan di rekam oleh
sanad terakhir, baik berupa s a b d a
Nabi Saw., sahabat maupun
tabi’in yang berisi tentang p e r b u a t a n Nabi Saw. Ataupun perbuatan
sahabat y a n g tidak di sanggah oleh nabi Saw., misalnya perkataan anas bin Malik r.a. :
كنا نصلى مع رسول الله عليه وسلم فى شدة الحر
فاذا لم يستطع أحدنا ان يمكن جبهته من الارض بسط ثوبه فسجد عليه
“kami shalat
bersama rasulullah Saw. pada saat udara sangat panas. Ketika salah seorang di
antara kami tidak sanggup menekankan darinya di atas tanah, ia bentangkan
pakaianya, lalu sujud di atasnya.” [28]
C.
Mukharrij
Telah di
ketahui bersama bahwa kitab-kitab hadits
y a n g tersebar di masyarakat sudah menjadi pegangan
ummat i s l a m, b a h k a n menjadi sumber kedua ajaran Islam setelah
Al-Qur’an. Padahal kitab-kitab tersebut disusun pra mukharrij jauh setelah nabi
Saw. Wafat (11 H/632M) dengan rentang waktu yang di
warnai banyak peristiwa,
baik yang berkaitan
dengan masalah keagamaan
maupun politik. Keadaan i n i demikian berpengaruh t e r h a d a p perkembangan h a d i t s, hingga muncullah permasalahan fundamental berikut
ini:
Apakah
periwayatan hadits hasil koleksi para mukharrij-mukharrij yang telah terhimpun
di dalam kitab-kitab mereka dapat
dijadikan hujjah, atau tidak?
Untuk
mengetahui jawabanya, p a r a ahli melakukan penelitian ulang, dimana objek
penelitian itu bukan hanya matan dan sanad, melainkan juga karakter para perawi
atau mukharrij yang t
e l a h meriwayatkan, dan sekaligus menghimpun banyak hadits
kedalam kitab mereka. Dengan demikian, mukharrij (مخرج )
i
a l a h “perawi h a d i t s y a n g telah menghimpun
hadits-hadits yang diriwayatkannya ke dalam sebuah (atau lebih) k i t a
b yang telah disusun” [29],
misalnya I m a m B u k h a r i, Imam Muslim, I m a m A b u Dawud,
Imam Turmudzi dan sebagainya. Di dalam kitab-kitab itu, semua komponen utama
sebuah hadits harus ada dalam periwayatan mereka, mulai dari matan, sanad
sampai pada metode penerimaan dan penyampaian hadits kepada orang lain
(at-Tahammul wa al-Ada’).[30]
Sebab hadits tidak cukup hanya di lihat dari matan dan mata rantai sanadnya
saja, tetapi juga harus diketahui siapa mukharrij-nya dan nama perawi pertama
(yaitu sahabat) yang telah meriwayatkannya.
D.
Periwayatan
Istilah periwayatan sama artinya dengan
istilah Arab ar-riwayat (الراية ),
bentuk masdar dari kata rawa (روى),
yang berarti sama dengan kata an-naql (النقل),
artinya “p e n u k i l a n ” atau adz-dzikr (الذكر),
artinya “penyebutan”. [31]Arti
tersebut dalam bahasa Indonesia ini bisa bermakna sam dengan a r t i
kata “s e j a r a h” atau “c e r i
t a” sehingga arti kata “periwayatan” adalah “sesuatu yang di riwayatkan” atau
riwayat (dalam istilah Arab).[32]
Sedang menurut
istilah ahli hadits,”periwayatan” adalah suatu kegiatan penerimaan, penyampaian
dan penyandaran hadits kepada rangkaian mata rantai para perawinya melalui
bentuk bentuk penerimaan dan penyampaian yang bersifat tertentu.[33] D a r i Definisi ini, jika di lapangan di temukan seorang perawi
yang menerima hadits namun t i d a k menyampaikannya kepada orang lain, t
i d a k dapat diakui sebagai “orang y a n g
telah melakukan periwayatan
hadits”. Begitu juga j i k a orang tersebut sudah menyampaikan hadits yang diterimanya,
tapi tidak menyebutkan rangkaian mata rantai para perawinya.[34]
Dengan demikian, dapat di ambil kesimpulan
bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam periwayatan hadits adalah:
a)
Adanya kegiatan menerima hadits
dari perawinya
b)
Adanya kegiatan menyampaikan hadits
kepada orang lain.
c)
Adanya susunan mata rantai para
perawi ketika sebuah hadts di sampaikan kepada orang lain. Hal i n i dikenal dengan istilah “sanad” atau “isnad”
d)
Adanya kalimat yang menjadi pokok
pembicaraan. Hal ini di kenal dengan sebutan “matan”.[35]
e)
Adanya kegiatan yang berkenaan
dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits. Hal ini dikenal dengan
istilah “tahammul wa al-ada’ al-hadits (تحمل وأدأ
الحديث).”[36]
Dengan demikian, sesorang dapat dikatakan
sebagai ”perawi hadits”, jika ia telah melakukan kegiatan yang berkenaan dengan
seluk-beluk bentuk penerimaan dan penyampaian hadits yang di sampaikanyya,
lengkap dengan matan dan sanadnya.[37]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari Pembahasan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa, pengertian hadits, sunnah, khobar,
dan atsar memiliki berbagai segi makna
dan pengertian yang berbeda, hal
ini dilihat dari sudut pandang fan ilmu, maupun latar belakang ulama’ yang mengartikan.
Adapun subtansi dari hadits dan
atsar sendiri ada kesamaan dari segi makna, yaitu sama-sama bersumber dari rasulullah, juga ada sisi perbedaan, yakni dari segi
pesandaran atau d a
r i mana perkataan itu bersumber.
Lalu dari sruktur hadits sendiri ada tiga pembagian yakni antara sanad,
matan, maupun mukhorij yang sudah dipaparkan diatas beserta definisi dari
masing-masing dan juga diberi contoh dari kitab-kitab hadits.
2.
SARAN
Semoga
dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengharapkan respon dari
teman-teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari siapapun
datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca lainnya.
Amin ya
robbal alamin
DAFTAR ISI
Cover
.............................................................................................................. i
Daftar
Isi .............................................................................................................. ii
BAB
I : Pendahuluan .............................................................................................. 1
1.
Latar Belakang ............................................................................................ 1
2.
Rumusan Masalah......................................................................................... 2
3.
Tujuan Masalah ........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
1.
Pengertian menurut bahasa dan
istilah hadits, sunnah, khobar, dan atsar 3
2.
Subtansi Hadits dan Atsar........................................................................... 7
3.
Struktur Hadits............................................................................................ 7
4.
Pengertian Sanad, Matan, Mukharrij
dan Periwayat................................... 8
BAB III PENUTUP
............................................................................................... 12
1.
Kesimpulan ................................................................................................ 12
2.
Saran .......................................................................................................... 12
[1] M.Alfatih Suryadilaga, dkk,
Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 20
[2] M.Alfatih Suryadilaga, dkk,
Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 21 dikutip dari Syuhudi Isma’il
[3] M.Alfatih Suryadilaga, dkk,
Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010),hlm 26 dikutip M.hasbi Ash-shidieqi
[4] M.Alfatih Suryadilaga, dkk,
Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), dikutip dari Syuhud Isma’il
[5] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hlm 4
[6] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah
al-Hadist)
[7] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
[8] M.Alfatih Suryadilaga, dkk,
Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), dikutip dari Muhammad Mustafa Azami
[9] M.Alfatih Suryadilaga, dkk,
Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), dikutip dari al-Jurjani
[10] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari Musthafa al-Siba’i
[11] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari Ajjaj al-Khatib
[12] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari Musthafa al-Siba’i
[13] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
[14] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah
al-Hadist)
[15] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari al-Tirmisi
[16] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah
al-Hadist)
[17] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari al-Qasimi
[18] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah
al-Hadist)
[19] M.Ma’shum Zein ,Ilmu memahami
hadits nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren),hlm.12
[20]H.Abdul Kholid, Ilmu hadis 1
[21] M.Ma’shum Zein ,Ilmu memahami
hadits nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren),hlm. 21
[22] Ibid,hlm 21
[23] Ibid,hlm 21 dikutip dari Al-Ajjaj
[24] Ibid,hlm 21 dikutip dari
As-Suyuti,Tadrib
[25] Ibid,hlm 21 dikutip dari Utang
Anuwijaya, ilmu Hadis
[26] Ibid, 28 dikutip dari At-Thokhan
[27] Ibid,hlm 28 dikutip dari Utang
Anuwijaya, ilmu Hadis
[28] Ibid,hlm 21 dikutip dari Bukhari,
Shahih
[29] Ibid,hlm 21 dikutip dari Syuhudi
Isma’il
[30] Ibid,hlm 21 dikutip dari Syuhudi
Isma’il
[31]Ibid,hlm 21 dikutip dari Ma’luf
Louis
[32] Ibid,hlm 21 dikutip dari
Poerwodarminto
[33] Ibid,hlm 21 dikutip dari
AS-Suyuthi
[34] Ibid,hlm 21 dikutip dari As-Suyuti
[35] Ibid.hlm 32 dikutip dari Ithr
[36] Ibid.hlm 33 dikutip dari
At-Tirmasyi
[37] Ibid.hlm 33 dikutip dari Syuhudi