Blogger templates

Powered By Blogger

Tarjamah

Sabtu, 21 November 2015

Hadist,sunnah, atsar, khabar



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Sudah menjadi anggapan umum di kalangan masyarakat bahwa ilmu hadits dan seluk beluknya tergolong sebagai ilmu pengetahuan yang sangat pelik, apalagi bagi mereka yang belum memahami dengan baik sejarah penghimpunan hadits nabi, berbagai istilah, kaidah yang di kenal dalam ilmu hadits dan metode penelitian kualitas hadits. Yang di khawatirkan dari keadaan ini adalah munculnya keengganan dalam diri mereka untuk memahami hadits, lalu mengesampingkannya, baik secara terang terangan maupun tersembunyi, seperti yang dilakukan kelompok inkar as-sunnah.
Kenyataanya, kitab-kitab yang memuat hadits Nabi cukup banyak dan beragam dilihat dari sisi penghimpunanya, cara dan sistem penghimpunanya ataupun masalah yang dikemukakan dan bobot kualitasnya. Bahkan, kitab-kitab tersebut sudah memuat periwayatan hadits secara lengkap, baik matan maupun sanadnya. Hingga tiap pembaca benar-benar telah mendapatkan informasi lengkap tentang redaksi matan dan mata rantai sanad sebuah hadits, dua hal yang sama-sama mempunyai kedudukan penting untuk menilai kulitas hadits seperti yang terihimpun dalam kitab kutub as-sittah (shahihaini, yaitu shahih bukhari dan shahih muslim, sunan atturmudzi, annasa’I, abu dawud dan sunan ibnu majjah),dan lainnya (seperti: almuwatto’, musnad ahmad ibnu hanbal, mustadrok hakim dan kitab ajza atau athrof).
Dari sini dapat dikatakan bahwa untuk dapat memahami dan mengkaji hadits nabi dengan benar, seseorang tidak hanya di tuntut mendalaminya dari sisi matan saja, tapi juga mampu memahami dengan baik keadaan mata rantai sanad dan para perawi hadits yang akan di kaji. Sebab keadaan matan, sanad dan perawi hadits yang terhimpun dalam berbagai kitab-kitab koleksi hadits nabi Saw. itu bermacam-macam.
Oleh karna itu, untuk mengkaji sebuah hadits seseorang harus memahami betul ilmu yang berhubungan erat dengannya, baik istilah-istilah, kaidah-kaidah, maupun metode penelitiannya. Oleh sebab itulah, penulis menyajikan makalah sederhana ini yang akan membahas secara global tentang hadits, sunnah, khabar, atsar dan pada ahirnya akan di teruskan oleh kelompok-kelompok yang sudah di amanati tugas.
2.      Rumusan Masalah
Dari latar balakang diatas dapat dirumuskan masalah, sebagai berikut :
1.      Apa Definisi menurut bahasa dan istilah dari hadits, sunnah, khobar, dan atsar ?
2.      Apa subtansi dari hadits dan atsar ?
3.      Bagaimana stuktur hadits ?
4.      Apa pengertian sanad, matan, mukhraj,dan periwayat ?
3.      Tujuan Masalah
Tujuan  kami membuat makalah ini tidak lain untuk :
1.      Memberi pengertian baik secara bahasa maupun istilah tentang hadits, sunnah, khobar, dan atsar.
2.      Mencari subtansi dari hadits dan atsar.
3.      Memberi sruktur tentang bagaimana stuktur hadits.
4.      Memberi pengertian tentang sanad matan, mukhraj, periwayat





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian menurut bahasa dan istilah hadits, sunnah, khobar, dan atsar.
A.    Pengertian hadits
      Kata hadist berasal dari kata hadits, jamaknya ahadits, dan hutsan. Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama’ hadits[1]. Dari segi bahasa, kata ini mempunyai banyak arti, diantaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama), juga bisa diartikan sebagai al-khabar (berita atau informasi)[2] dan alqarib (sesuatu yang dekat)[3].
      Adapun pengertian hadits menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Misalnya, ulama’ hadits mengatakan: Hadits ialah segalah ucapan, perbuatan, taqrir (pengakuan), dan segalah keadaan yang ada pada Nabi Muhammad SAW. Termasuk segala keadaan yang ada pada NAbi Muhammad SAW.Adalah sejarah hidup beliau (semisal kelahiran, keadaan sebelum dan setelah diangkat menjadi Rasul).[4] Sementara para Ulama’ Ushul memberikan pengertian hadits adalah
اقواله  وافعاله وتقريراته التى تثبت الاحكام وتقررهاَ
“Segalah perkataan Nabi Saw, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
      Berdasarkan pengertian hadits menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadits adalah segalah sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tdak bisa dikatakan hadits. Ini berarti bahwa ahli Ushul membedakan diri Nabi Muhammad Saw sebagai rasul dan sebagai manusia biasa.Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw sebagai Rasulullah.Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan- ketetapannya.
      Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasa an manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadist. Dengan demikian, pengertian hadist menurut ahli Ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian hadist menurut ahli hadist.[5]  Juga pendapat lain ialah.
ما أضيف ألى النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة
“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”[6]                       
      Sebagian muhaddisinberpendapat bahwa pengertian hadits diatas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadits mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas; tidak terbatas pada apa yang disandarkan pada Nabi SAW (hadits marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat(hadits mauquf), dan tabi’in (hadits maqtu’). Hal ini dipaparkan oleh H.Munzier yang mengutip dari al-Tirmisi
ان الحديث لايختص بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل جاء بالموقوف وهو ما أضيف الى الصحابي والمقطوع وهو ما أضيف للتابعي
“Bahwasanya hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf; yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu’; yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.[7]



B.     Pengertian Sunnah
      Menurut bahasa, kata sunnah mempunyai beberapa arti, diantaranya jalan yang dilalui, tata cara atau perilaku, baik jalan tersebut terpuji maupun tercela.[8] Terkadang sunnah juga diartikan sebagai kebiasaan (adat) atau tradisi.[9]
      Sedangkan menurut istilah, sunnah juga mempunyai beberapa arti dikalangan muhaddisin, ulama’ ushuliyyin, dan ulama’ fiqih. Hal ini disebabkan karna perbidaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah Saw.
            Pengertian sunnah menurut ahli hadits adalah
ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة خلقية او خلقية سيرة, سواء كان قبل البعثة او بعدها
“Segala yang bersumber dari Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pakerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya”.[10]
      Berbeda dengan ahli hadits, ahli ushul mengatakan, sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw yang berhubungan dengan hukum syara’ baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. Berdasarkan pemahaman seperti ini, mereka mendefinisikan sunnah sebagai berikut
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرأن الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي
Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara’[11]    .
            S e d a n g k a n     s u n n a h   m e n u r u t   a h l i  fiqih   sebagai   berikut
ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من غير افتراض ولا وجوب, وتقابل الواجب وغيره من الاحكام الخمسة
Segala ketetepan yang berasal dari Nabi Saw selain yang difardhukan dan diwajibkan dan termasuk hukun(taklifi) yang lima[12].
C.    Pengertian Khabar
      Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadist, yakni segala perintah yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.[13]
      Dan    m e n u r u t   i s t i l a h   khabar mempunyai beberapa  m a k n a
مرادف للحديث
“Murodif dari lafad hadist
مغايرله: فالحديث ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم والخبر ما جاء عن غيره
Hadits: Sesuatu yang datang dari Nabi Saw Sedangkan khobar sesuatu yang datang dari selain Nabi Saw.[14]
D.    Pengertian Atsar
      Adapun   atsar  menurut  pendekatan  bahasa  sama  pula artinya dengan khabar, hadits, dan sunnah.[15] Dan ada juga yang mengartikan
[16]بقية الشيئ
Sisanya sesuatu”
               Sedangkan  atsar  menurut  istilah  terjadi  perbedaan  pendapat  diantara pendapat para ulama’
ما روي عن الصحابة ويجوز أطلاقه على كلام النبي أيضا[17]
“Yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan pada perkataan Nabi Saw.
Dan juga ada yang mengartikan
[18] ما أضيف الى الصحابة والتابعين من أقوال وأفعال
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in dari ucapan dan perbuatan”
2.      Subtansi Hadits dan Atsar         
     Dari penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa hadits, sunnah, Khabar, dan atsar, memiliki maksud yang sama, yaitu segala sesuatu yang bersumber  d a r  i  Nabi Saw.  Baik  berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Dari kesamaan ini,  ditemukanlah beberapa keserupaan diantara pengertian-pengertian tersebut.  Di antaranya d a l a m bentuk subtansinya, yaitu perkataan     (hadits qauli), perbuatan (hadits fi’li), ketetapan (hadits taqriri)  d a n  karakter  kepribadian (hadits hammi dan ahwali)[19].
3.      Struktur Hadits
                 Struktur hadits dapat diketahui dari hadits berikut ini:
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا ايوب عن ابى قلابة عن انس عن انبي صلى الله عليه وسلم قال:" ثلاثة من كن فيه وجد حلاوة الايمان ان يكون الله ورسوله أحب اليه مما سواهما وان يحب المرئ لايحبه الا للله وان يكره ان يعوده فى الكفر كما يكره ان ينقد فى النار" روه البخارى
“Telah bercerita kepadakuMuhammad bin al-Mutsanna, ia berkata; “Bercerita kepadaku Abdul Wahab al-Tsaqafi”, Ia berkata; “telah bercerita kepadaku Ayyub dari Abi Qilabah dari anas dari Nabi, beliau bersabda: “Ada tiga perkara, barang siapa mendapatkannya maka akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: lebih mencintai Allah dan rasul-Nya daripada selain keduanya, senang kepada seseorang untuk mencari keridlaan Allah, takut kembali kekafiran sebagaimana takutnya masuk neraka” (H.R. Bukhary)
Dari contoh Hadits di atas dapat dilihat bahwa struktur Hadits itu terdiri dari tiga bagian, yaiu:
1)      Sanad (rangkaian perawi yang meriwayatkan Hadits), yang dalam contoh Hadits diatas adalah:                                                    حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا ايوب عن ابى قلابة عن انس عن انبي     صلى الله عليه وسلم قال         
2)      Matan (isi Hadits), yang dalam contoh Hadits di atas adalah            ثلاثة من كن فيه وجد حلاوة الايمان ان يكون الله ورسوله أحب اليه مما سواهما وان يحب المرئ لايحبه الا للله وان يكره ان يعوده فى الكفر كما يكره ان ينقد فى النار    
3)      Mukharrij (orang yang meriwayatkan hadits), yang dalam contoh hadits di atas adalah:                                                                                                                                                                  روه البخارى[20]
4.      Pengertian Sanad, Matan, Mukharrij dan Periwayat
A.    Sanad
Sanad berasal dari kata dasar (sanada, yasnudu )سند يسند) (a) artinya: “sandaran”,”tempat bersandar”, “tempat berpegangan”, atau berarti “ yang di percaya” atau “yang sah”, sebab sebuah hadits selalu bersandar padanya dan di pegangi atas kebenarannya.[21]Sedang menurut istilah ialah
السند هو سلسة الرجال الموصولة للمتن
“sanad ialah silsilah mata rantai orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits.”[22]
      السند هو سلسلة الرواة الذين نقلو المتن عن صدره الأول
 “Sanad ialah mata rantai para perawi yang memindahkan hadits dari sumbernya yang pertama.”[23]
     Yang di maksud dengan  i s t i l a h “silsilah orang” ialah susunan atau rangkaian mata rantai orang-orang   y a n g  menyampaikan materi hadits tersebut, mulai dari yang di sebut pertama sampai kepada Rasulullah Saw.,    di  m a n a   semua perbuatan, ucapan, pengakuan dan lainnya merupakan matan hadits.[24]
Oleh sebab itu, y a n g di namakan sanad   hanyalah yang berlaku pada sederetan  mata  rantai   orang-orang,    bukan    d a r i sudut pribadi secara perorangan. Sebab  sebutan  untuk perorangan  yang menyampaikn hadits adalah perawi atau rawi.[25]
B.     Matan
     Menurut bahasa adalah (ما صلب وارتفع من الارض)  (dataran tinggi yang keras), sedangkan menurut  termonologi ahli hadits adalah (ما ينتهي اليه السند) penghujung dari pembicaraan sanad[26]
Dari definisi di atas matan ialah materi atau lafadz hadits itu sendiri, yang oleh penulisnya di tempatkan setelah menyebutkan sanad sebelum perawi atau mudawwin.[27]
Dengan demikian, matan hadits ialah materi berita yang di terima dan di rekam oleh sanad terakhir, baik berupa   s a b d a   Nabi Saw., sahabat maupun tabi’in  yang berisi tentang  p e r b u a t a n Nabi Saw. Ataupun perbuatan sahabat  y a n g  tidak  di  sanggah  oleh nabi Saw.,  misalnya perkataan anas bin Malik r.a. :
كنا نصلى مع رسول الله عليه وسلم فى شدة الحر فاذا لم يستطع أحدنا ان يمكن جبهته من الارض بسط ثوبه فسجد عليه
“kami shalat bersama rasulullah Saw. pada saat udara sangat panas. Ketika salah seorang di antara kami tidak sanggup menekankan darinya di atas tanah, ia bentangkan pakaianya, lalu sujud di atasnya.” [28]
C.    Mukharrij
Telah di ketahui bersama bahwa  kitab-kitab hadits  y a n g   tersebar di masyarakat sudah menjadi pegangan ummat  i s l a m,  b a h k a n  menjadi sumber kedua ajaran Islam setelah Al-Qur’an. Padahal kitab-kitab tersebut disusun pra mukharrij jauh setelah nabi Saw. Wafat (11 H/632M) dengan rentang  waktu  yang  di  warnai  banyak  peristiwa,  baik  yang   berkaitan dengan   masalah  keagamaan   maupun   politik.  Keadaan  i n i  demikian berpengaruh   t e r h a d a p   perkembangan  h a d i t s,  hingga  muncullah permasalahan fundamental berikut ini:
Apakah periwayatan hadits hasil koleksi para mukharrij-mukharrij yang telah terhimpun di dalam kitab-kitab  mereka  dapat  dijadikan hujjah, atau tidak?
Untuk mengetahui jawabanya,  p a r a  ahli melakukan penelitian ulang, dimana objek penelitian itu bukan hanya matan dan sanad, melainkan juga karakter  para  perawi  atau  mukharrij  yang   t e l a h  meriwayatkan, dan sekaligus  menghimpun  banyak  hadits  kedalam  kitab   mereka.  Dengan demikian,  mukharrij (مخرج )   i a l a h “perawi  h a d i t s   y a n g  telah  menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkannya ke dalam sebuah (atau lebih)   k i t a b  yang telah disusun” [29], misalnya  I m a m  B u k h a r i, Imam Muslim, I m a m   A b u Dawud, Imam Turmudzi dan sebagainya. Di dalam kitab-kitab itu, semua komponen utama sebuah hadits harus ada dalam periwayatan mereka, mulai dari matan, sanad sampai pada metode penerimaan dan penyampaian hadits kepada orang lain (at-Tahammul wa al-Ada’).[30] Sebab hadits tidak cukup hanya di lihat dari matan dan mata rantai sanadnya saja, tetapi juga harus diketahui siapa mukharrij-nya dan nama perawi pertama (yaitu sahabat) yang telah meriwayatkannya.
D.    Periwayatan
     Istilah periwayatan sama artinya dengan istilah Arab ar-riwayat (الراية ), bentuk masdar dari kata rawa (روى), yang berarti sama dengan kata an-naql  (النقل),   artinya  “p e n u k i l a n ”  atau adz-dzikr (الذكر), artinya “penyebutan”. [31]Arti tersebut dalam bahasa Indonesia ini bisa bermakna sam dengan  a r t i   kata “s e j a r a h” atau “c e r i t a” sehingga arti kata “periwayatan” adalah “sesuatu yang di riwayatkan” atau riwayat (dalam istilah Arab).[32]
Sedang menurut istilah ahli hadits,”periwayatan” adalah suatu kegiatan penerimaan, penyampaian dan penyandaran hadits kepada rangkaian mata rantai para perawinya melalui bentuk bentuk penerimaan dan penyampaian yang bersifat tertentu.[33]  D a r i  Definisi  ini,  jika di lapangan di temukan seorang perawi yang menerima hadits namun  t i d a k  menyampaikannya kepada   orang  lain,  t i d a k  dapat  diakui  sebagai  “orang y a n g   telah melakukan periwayatan hadits”. Begitu juga  j i k a  orang tersebut  sudah menyampaikan hadits yang diterimanya, tapi tidak menyebutkan rangkaian mata rantai para perawinya.[34]
     Dengan demikian, dapat di ambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam periwayatan hadits adalah:
a)    Adanya kegiatan menerima hadits dari perawinya
b)    Adanya kegiatan menyampaikan hadits kepada orang lain.
c)    Adanya susunan mata rantai para perawi ketika sebuah hadts di sampaikan kepada orang  lain. Hal  i n i  dikenal dengan istilah “sanad” atau “isnad”
d)   Adanya kalimat yang menjadi pokok pembicaraan. Hal ini di kenal dengan sebutan “matan”.[35]
e)    Adanya kegiatan yang berkenaan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits. Hal ini dikenal dengan istilah “tahammul wa al-ada’ al-hadits (تحمل وأدأ الحديث).”[36]
     Dengan demikian, sesorang dapat dikatakan sebagai ”perawi hadits”, jika ia telah melakukan kegiatan yang berkenaan dengan seluk-beluk bentuk penerimaan dan penyampaian hadits yang di sampaikanyya, lengkap dengan matan dan sanadnya.[37]



BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari Pembahasan  diatas  bisa  diambil  kesimpulan  bahwa, pengertian hadits, sunnah, khobar, dan  atsar memiliki berbagai segi makna dan pengertian  yang  berbeda, hal  ini   dilihat  dari    sudut pandang fan ilmu, maupun  latar belakang ulama’ yang mengartikan.
Adapun subtansi dari  hadits dan atsar sendiri ada kesamaan dari segi makna, yaitu sama-sama  bersumber dari rasulullah, juga ada sisi  perbedaan, yakni  dari  segi  pesandaran  atau  d a r i   mana perkataan itu bersumber.
Lalu dari sruktur hadits sendiri ada tiga pembagian yakni antara sanad, matan, maupun mukhorij yang sudah dipaparkan diatas beserta definisi dari masing-masing dan juga diberi contoh dari kitab-kitab hadits.
2.      SARAN
Semoga dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengharapkan respon dari teman-teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca lainnya.
            Amin ya robbal alamin








DAFTAR ISI

Cover         ..............................................................................................................  i
Daftar Isi    .............................................................................................................. ii
BAB I : Pendahuluan .............................................................................................. 1
1.      Latar Belakang ............................................................................................ 1
2.      Rumusan Masalah......................................................................................... 2
3.      Tujuan Masalah ........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
1.      Pengertian menurut bahasa dan istilah hadits, sunnah, khobar, dan atsar    3
2.      Subtansi Hadits dan Atsar........................................................................... 7
3.      Struktur Hadits............................................................................................ 7
4.      Pengertian Sanad, Matan, Mukharrij dan Periwayat................................... 8
BAB  III PENUTUP ............................................................................................... 12
1.      Kesimpulan ................................................................................................ 12
2.      Saran .......................................................................................................... 12







[1] M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 20
[2] M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 21 dikutip dari Syuhudi Isma’il
[3] M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010),hlm 26 dikutip M.hasbi Ash-shidieqi
[4] M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), dikutip dari Syuhud Isma’il
[5] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hlm 4
[6] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah al-Hadist)
[7] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
[8] M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), dikutip dari Muhammad Mustafa Azami
[9] M.Alfatih Suryadilaga, dkk, Ululumul hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), dikutip dari al-Jurjani
[10] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari Musthafa al-Siba’i
[11] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari Ajjaj al-Khatib
[12] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari Musthafa al-Siba’i
[13] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
[14] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah al-Hadist)
[15] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari al-Tirmisi
[16] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah al-Hadist)
[17] H.Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) dikutip dari al-Qasimi
[18] Mahmud at-Tokhan (Taisir Mustholah al-Hadist)
[19] M.Ma’shum Zein ,Ilmu memahami hadits nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren),hlm.12
[20]H.Abdul Kholid, Ilmu hadis 1
[21] M.Ma’shum Zein ,Ilmu memahami hadits nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren),hlm. 21
[22] Ibid,hlm 21
[23] Ibid,hlm 21 dikutip dari Al-Ajjaj
[24] Ibid,hlm 21 dikutip dari As-Suyuti,Tadrib
[25] Ibid,hlm 21 dikutip dari Utang Anuwijaya, ilmu Hadis
[26] Ibid, 28 dikutip dari At-Thokhan
[27] Ibid,hlm 28 dikutip dari Utang Anuwijaya, ilmu Hadis
[28] Ibid,hlm 21 dikutip dari Bukhari, Shahih
[29] Ibid,hlm 21 dikutip dari Syuhudi Isma’il
[30] Ibid,hlm 21 dikutip dari Syuhudi Isma’il
[31]Ibid,hlm 21 dikutip dari Ma’luf Louis
[32] Ibid,hlm 21 dikutip dari Poerwodarminto
[33] Ibid,hlm 21 dikutip dari AS-Suyuthi
[34] Ibid,hlm 21 dikutip dari As-Suyuti
[35] Ibid.hlm 32 dikutip dari Ithr
[36] Ibid.hlm 33 dikutip dari At-Tirmasyi
[37] Ibid.hlm 33 dikutip dari Syuhudi

0 komentar:

Posting Komentar